Blue Fire Pointer seruseru ^^: Sahabat Terbaikku

Rabu, 03 September 2014

Sahabat Terbaikku

Perasaan ini sudah lama kupendam, bisa dibayangkan bak ombak di lautan yang mengikuti semilir angin sejuk yang menerpa. Tak tentu arah tujuan, hanya bergerak pasrah. Ombak yang selalu bergemuruh siang malam. Seperti itulah perasaanku sekarang. Hampir setiap hari aku terus memendam rasa ini, sakit memang. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak memiliki keberanian apa-apa untuk mengungkapkannya, hanya mengikuti bergulirnya waktu. Ah sudahlah.

***

“Rencananya mau kemana loe ngabisin weekend?” sahut Sofi memecah lamunanku. “Ada sale besar-besaran loh di toko buku Gramadia.”

Sofi adalah sahabat baik gue dari SD, sekarang kita kebetulan duduk di bangku kelas yang sama, kelas 12 IPA 1. Sofi adalah satu-satunya teman yang menurut aku paling bersahabat.

“Gue bingung nih,” jawabku cepat. “Gue ngikut loe aja dah.”

“Buruan loe siap-siap,” ujarnya. “Mandi dulu sono, biar ga malu-maluin.”

“Tunggu gue ya, awas aja kalo sampe loe ninggalin gue.” Kataku kencang sambil berlari menuju asrama.

“Gun, Gue tunggu di depan pos satpam ya!” teriak Sofi.

Aku tidak menjawab.

Namaku Aldi, Aldi Gunawan. Semua teman-temanku memanggilku Aldi. Tetapi entah mengapa Sofi selalu memanggilku Gun, sudah dari dulu dia memanggilku begitu. Mungkin dia memanggil nama belakangku yang terasa asing di telingaku, Gunawan. Rasanya tidak cocok aku dipanggil begitu. Tapi aku tidak peduli. Bagiku yang terpenting Sofi selalu menjadi teman terbaikku.

Sekarang kami bersekolah di sekolah berasrama yang menurut gosip kalangan siswa merupakan sekolah terbaik se-nusantara, bahkan menduduki peringkat sepuluh besar sekolah terbaik internasional. Makanya untuk dapat bersekolah disini sangatlah sulit, bersaing bersama seratus ribu siswa lainnya. Jujur saja, aku bukanlah orang yang pintar, jika dibanding siswa-siswa lainnya. Tapi entah mengapa aku lolos. Mungkin hanya keberuntungan yang membawaku kesini.

Selesai mandi aku langsung bersiap-siap, memakai baju berkerah yang keren dan tidak lupa parfum mahal yang aku beli saat kunjungan studi ke Paris. Kusambar tas di atas kursi dan tidak lupa juga membawa dompet kulit asli. Aku berlari keluar asrama dengan terburu-buru.

“Gawat nih kalo sampe gue ditinggal,” Pikirku dalam hati. “Sofi kan orangnya ga sabaran.”

Saat kulihat pos satpam, tidak terlihat Sofi sama sekali. “Ahh, ternyata dugaan gue bener,” umpat gue dalam hati. “Sial emang tuh orang.”

Tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang. Otomatis aku kaget dan langsung menoleh ke belakang. Ternyata Sofi yang datang menenteng dua buah coke.

“Lagian loe lama sih,” kata Sofi tersenyum sambil menyodorkan salah satu coke ke arahku. “Tadi gue mampir dulu ke warung beli minuman buat perjalanan kita.”

Aku membalas senyumnya dan menerima coke tersebut. Setelah kami izin ke satpam untuk pergi, kami langsung memberhentikan taksi yang lewat dan memasukinya. Selama perjalanan kami bercerita satu sama lain tentang kegiatan di sekolah, guru-guru, termasuk teman-teman kami yang unik, melepas tawa satu sama lain. Setelah sudah sampai di tujuan, kami turun dan langsung mendatangi toko buku Gramadia yang sudah kami rencanakan dari awal.

“Gue ke tempat komik dulu ya,” kata Sofi. “Loe ke area mana aja sesuka hati loe, tapi jangan keluar dari Gramadia ya.”

“Siip, gue mau ke tempat novel, ada novel yang mau gue beli.”

“Oke.”

Aku berjalan mengitari tempat novel, terbersit di pikiranku untuk memberikan buku novel kesukaan teman sekelasku. Dia kebetulan sedang pergi keluar negeri sejak satu tahun lalu untuk mengikuti lomba dan besok dia akan kembali ke sekolah. Dia bernama Rita, ya Rita seorang perempuan yang paling cantik di sekolah. Walaupun aku jarang sekali mengobrol dengannya, aku selalu memikirkannya hampir setiap hari. Dia adalah orang istimewa dalam hidupku. Perempuan yang selalu memenjarakan hatiku ini.

“Loe udah dapet bukunya belom?” sahut Sofi memecah lamunanku. “Gue udah dapet nih.”

“Kalo gue udah sih, bayar yuk.” Ajakku singkat.

Aku membeli dua buku novel dan rencananya akan aku berikan kedua-duanya ke Rita. Menurutku dua buku novel sedikit sih, lagian juga bukunya tidak terlalu tebal juga.

“Buat siapa aja novel yang loe beli?” tanya Sofi serentak setelah keluar dari toko buku. Aku malu mengatakannya, lidah ini terasa sulit sekali mengucapkan kata-kata. Aku takut akan melukai hatinya. Aku sudah tahu kalau Sofi temanku ini memendam rasa terhadapku. Tapi itu hanya perkiraanku saja. Aku tidak pandai menebak isi hati wanita.

“Gue sebenernya beli novel buat loe,” jawabku berbohong. “Biar loe tahu karya sastra yang baik tuh kayak gimana, gak kayak komik yang loe beli.”

“Makasih banget, Wan, sini mana novel yang buat gue.” Kata Sofi sambil memaksaku memberikan novel yang aku beli buat dia. Aku terpaksa memberikan satu novel dari kedua novel yang ada.

“Masih ada satu novel lagi yang bisa gue kasih ke Rita,” lamunku. “Satu juga sudah cukup.”

“Gimana menurut loe?” tanyaku kepada Sofi

“Bagus sih kelihatannya, kok loe tahu gue suka novel romantis kayak gini?” tanyanya.

“Cuman feeling aja sih.” Jawabku mengada-ada. Padahal buku itu bukan buat Sofi. Untung saja Sofi tidak tahu yang sebenarnya. “Balik ke asrama lagi yuk.” Lanjutku

“Ayo, udah cape banget nih, laper.” ujarnya.

“Ntar aja makannya di kantin asrama, murah.” Pintaku.

“Yahh, padahal mau makan di restoran, gapapa deh kalo gitu.” Kata Sofi kecewa. Mukanya lucu saat cemberut. Manis.

Kami pun pulang ke asrama menggunakan taksi seperti tadi. Setelah sampai di asrama kami langsung menuju kantin dan makan siang bersama disana, aku terkejut melihat Rita sudah datang dan sedang  mengobrol bersama teman-temanku. Aku dan Sofi makan siang bersama dengan teman-temanku termasuk Rita. Mengobrol bersama saat makan siang sudah menjadi kebiasaan. Tapi kali ini berbeda karena Rita yang sekarang sudah akrab sekali denganku, tidak seperti saat pertama kali Rita merupakan orang yang pendiam. Dia menceritakan pengalamannya saat berlomba di luar negeri. Sofi pulang duluan sementara aku dan Rita masih mengobrol. Aku tahu mungkin Sofi cemburu, tapi aku hiraukan saja. Aku anggap dia capek dan ingin segera beristirahat. Setelah beberapa lama mengobrol aku pun kembali ke asrama untuk beristirahat.

“Wan, gue mau ngomong ama loe.” Sahut Sofi tiba-tiba. Aku udah curiga kayaknya dia marah sama aku.

“Ada apa Sof?” tanyaku seakan tidak tahu apa-apa.

“Gue cuman mau balikin buku novel yang kemarin loe kasih ke gue.” Jawab Sofi sambil menyodorkan buku novel yang masih terbungkus plastik. “Gue rasa gue ga pantes nerima hadiah dari loe.”

Aku tercengang, kaget setelah mendengar kata-kata Sofi barusan yang menyayat hati. Tidak biasanya dia seperti ini. Pasti gara-gara kemarin.

“Emang kenapa kok tiba-tiba loe jadi kayak gini?” tanyaku basa-basi.

“Pokoknya gue ga mau aja,” sambarnya. “Gue rasa ada seseorang yang lain yang pantas nerima hadiah dari loe selain gue.”

“Maksud loe si Rita, gue kan kemarin cuman ngobrol doang. Ga ada maksud lain.” Sahutku menjelaskan apa yang aku lakukan kemarin. Aku tahu aku berbohong, tapi demi pertemanan antara aku dan Sofi aku tahu yang aku lakukan ini benar.

“Bohong banget dah loe.” Teriak Sofi sembari menangis tersedu-sedu. Dia berlari meninggalkanku yang duduk sendiri di kelas. Aku tidak tahu apa yang telah aku lakukan. Aku duduk termangu memegang buku novel yang dia kembalikan. Ada sebuah post-it tertera di sana. Aku kaget saat aku membaca tulisan tersebut. Isinya berisi huruf katakana yang aku tahu kalau artinya tidak lain dan tidak bukan adalah Aku mencintaimu setulus hati. Sepertinya aku melakukan sebuah kesalahan fatal.

Tiba-tiba di tengah kesendirianku Rita datang menghampiriku. Tapi tidak seperti biasanya sekarang aku tidak ada rasa lagi terhadapnya. “Kok ngelamun aja, lagi galau ya.” Tebaknya sambil duduk di kursi sebelahku.

“Nggak kok, kata siapa.” Jawabku sambil menaruh buku novel di laci meja. “Gue lagi ga enak badan aja hari ini, tadi pagi gue belum sarapan.”

“Nih kebetulan aku bawa makanan dari luar negeri.” Kata Rita sembari memberiku sekotak makanan. “Namanya nasi loque.”

Sebenarnya aku mau-mau aja terima makanan seperti itu, lagian kan makanan itu belum pernah aku makan sebelumnya, tapi aku tetap saja memikirkan keadaan Sofi di luar sana yang entah bagaimana keadaannya sekarang.

“Maaf ya.” Ujarku. “Bukannya gue ga suka atau gimana, tapi sekarang gue ga ada nafsu makan nih.”

“Gimana kalau coklat, kebetulan gue bawa khusus buat loe.” Bujuk Rita kembali.

Tanpa basa-basi gue langsung pergi meninggalkan Rita seorang diri yang tengah keheranan melihat sikapku. Aku tidak peduli sekarang.

“Apa Rita suka sama gue?” Tanyaku pada diriku sendiri. Aku tidak menyangka bahwa itu akan terjadi, sepertinya hari ini aku sudah membuat dua orang perempuan menangis secara berturut-turut. Hal yang paling kukesalkan yaitu perasaan Sofi sekarang. Dia adalah sahabat terbaikku dan aku tentu tidak akan meninggalkannya. “Selamat tinggal mimpi indahku.” Ujarku dalam hati.

Sempat kulihat Rita kesal dan menangis sambil membuang coklatnya ke lantai. Wajahnya yang biasanya cantik terlihat muram dan menyeramkan. Sisi buruknya itu yang kubenci. Dia mudah sekali marah.

“Napa loe Al?” Tanya Dodi dari arah saung. “Mau gue traktir siomay ga?” lanjutnya.

Dodi adalah orang yang bisa dibilang paling aku benci di sekolah ini. Dia bersama gengnya suka banget nongkrong disitu dan mengganggu anak-anak yang lewat di hadapan mereka. Tapi akhir-akhir ini dia baik terhadapku. Entah mengapa. Mungkin waktu itu aku pernah membantunya mengerjakan tugas biologi yang sulit. Jadi aku sekarang kena timbal-baliknya.

“Bodo amat, sekarang gue lagi bad mood” Timpalku yang sedang berlari dari arah kelas. Aku berhenti sejenak dan bertanya balik ke Dodi dan gengnya “Gue harus nyari Sofi sekarang dan meminta maaf buat yang udah gue lakuin, lu liat ga?

“Tumben lu nyari dia,” jawabnya sambil tertawa. “Biasanya kan kalian sering banget berdua.”

“Jangan banyak bacot dah loe,” timpalku emosi. “Lu liat atau ngga?”

“Sabar dong bos,” jawabnya. “Tadi sih gue liat dia lari ke arah perpustakaan, percaya ga percaya dia lari sambil nangis loh Al.”

“Udah tau gue.”

“Jangan-jangan loe ya.”

“Makanya itu gue mau minta maaf, loe ga merhatiin kata-kata gue sebelumnya ya.”

“Mending loe buruan kesana daripada semuanya udah terlambat.”

Aku langsung berlari menuju ke perpustakaan, disana terlihat sepi sekali, tidak seperti biasanya. Aku mencari-cari letak Sofi di perpustakaan itu. Lama sekali aku mencarinya, wajar saja sih soalnya perpustakaan di sekolah ini terdiri dari empat lantai. Setelah sampai di lantai paling atas, akhirnya kutemukan dia. Sofi yang tengah duduk membaca sebuah buku novel yang sudah tidak asing lagi. Ya, buku itu adalah buku yang sudah sering aku pinjam berkali-kali dan kali ini dia membacanya. Kuhampiri dia dengan pelan.

“Sof, maaf ya soal yang tadi.” Pintaku padanya.

“Sudah tidak perlu ada yang dimaafkan lagi,” jawabnya. “Gue yang salah.”

“Kita tetep teman kan?” Tanyaku penasaran. Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulutku, seakan aku ingin jawaban yang sebenarnya.

“Tentu saja kalau itu yang kau mau.” Jawabnya pelan. pesa

Suasana menjadi hening, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku hanya melihatnya tanpa berkata apa-apa seolah semua sudah jelas. Padahal tidak. “Gue udah baca pesan loe yang loe tulis di buku novel gue lohh.” Kataku untuk memulai pembicaraan kembali.

“Ya sebenernya jujur aja gue….” Kata Sofi. Dia tidak melanjutkan kata-katanya.

“Apa?” Tanyaku sengaja membujuknya.

“Gue……”

Ting…Tong…Ting…Tong…

Bel sekolah tanda istirahat telah usai. Sofi berdiri mengajakku kembali ke kelas. Aku tidak memaksanya untuk mengulangi kata-katanya barusan. Aku dan Sofi berjalan bersama menuju kelas. Walaupun aku tidak mendengar kata-kata terakhirnya karena bel sekolah yang berisik, tapi kau tahu bahwa semuanya berakhir bahagia. Aku berjalan sambil tersenyum senang. Teruntuk aku dan dia yang selalu menemaniku, Sofi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar