Blue Fire Pointer seruseru ^^: Juni 2014

Minggu, 01 Juni 2014

Merekayasa Sejarah Part 2


Di antara rekayasa sejarah itu adalah mendekonstruksi polarisasi Islam versus Nasionalis, Islam vis a vis Negara, dan mendekonstruksi sebuah kotak (perangkap kecil) bernama Negara Islam. Nah, gerakan dakwah yang muncul di era 80-an dan bertransformasi secara kelembagaan sebagai partai politik di Indonesia saat ini, sedang melakukan hal itu.
Apakah ini hanya siasat atau akal-akalan politik? Tentu saja tidak, ini adalah bagian dari upaya tashil (orisinalisasi) pemikiran politik islam dan upaya tathwir (pengembangan) pada tataran implementasinya, secara bersamaan. Jadi ini perkara substantif! Indonesia harus dipandang sebagai warisan sah umat Islam, dengan segala keberagamannya. Umat Islam harus mengambil posisi kepemimpinan untuk memajukan bangsa ini dengan semua komponen masyarakat yang turut serta dan berperan andil di dalamnya. Kepemimpinan umat adalah manajemen kekuasaan yang merangkul, mendayagunakan, dan mengayomi. Bukan kekuasaan yang meminggirkan, apalagi bahkan menafikan.

Itulah sebabnya, segala identitas kebangsaan, segala konsensus nasional sebagai bangsa dan segala unsur keberagaman masyarakat Indonesia harus dijadikan aset bagi gerakan dakwah untuk merekayasa negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur. Mengkonsolidasi dan mengkapitalisasi segala potensi positifnya, serta mengeliminasi segala potensi negatifnya.

Inilah kerja besar merekayasa sejarah. Bila ditinjau dari perspektif sunnah tadawul (hukum pergiliran), sudah lebih dari 60 tahun bangsa Indonesia diisi dengan sejumlah rezim kekuasaan dengan aneka ideologi politik dan mazhab pembangunannya. Ternyata apa yang diinginkan oleh cita-cita nasional, sebagaimana tertuang dalam muqaddimah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah benar-benar terwujud.

Nasionalisme, sebagai paham kolektivisme masyarakat Indonesia yang melembagakan dirinya dalam sebuah negara-bangsa dan dengan cita-cita luhur, dicampakkan sedemikian rupa oleh mereka yang telah mengklaim diri sebagai kaum Nasionalis. Kini saatnya bagi aktivis gerakan dakwah yang sungguh-sungguh bekerja untuk memakmurkan kehidupan negeri ini, tanpa ragu untuk menyatakan bahwa kami lebih nasionalis daripada mereka yang telah gagal membuktikan nasionalismenya.

Dikutip dari Majalah Tarbawi Edisi 187 Th.10, Ramadhan 1429, 11 September 2008, dengan perubahan seperlunya.